Pacu
Jalur merupakan salah satu kebudayaan kebanggaan masyarakat di Provinsi Riau, khususnya
masyarakat Kuantan Singingi. Kebudayaan ini berawal dari abad ke-17, dimana
pada saat itu jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau
Kuantan. Jalur tersebut digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa,
terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu,
serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 50 orang. Melalui daerah di
sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian
hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang
transportasi darat seperti sekarang ini.
Jalur
atau yang artinya perahu besar ini terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan. Panjang
jalur antara 16 m s/d 25 m dan lebar bagian tengah kir-kira 1,3 m s/d 1,5 m. Seiring
dengan perkembangan yang terjadi, jalur-jalur tersebut mulai diberi ukiran
untuk memperindah tampilannya. Aneka ukiran mereka buat, seperti ukiran kepala
ular, buaya dan harimau. Mereka membuat ukiran tersebut di bagian lambung
atapun selembayung jalur, dipermanis lagi dengan tambahan paying, tali-temali,
selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai (tempat juri mudi
berdiri).
Nah,
sejalan dengan perubahan dan perkembangan yang ada ini terjadi pula perubahan
fungsi jalur. Jalur yang diukir dengan indah ini bukan hanya digunakan sebagai
alat angkut saja, tetapi juga untuk menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya
penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur
berhias ini.
Jalur
dengan ukiran indah ini kemudian dilihat warga dari sisi lainnya, mereka
menjadikan jalur itu semakin indah dan menarik lagi. Nah, sisi lain ini
ditemukan warga sekitar 100 tahun kemudian, yakni dengan digelarnya acara lomba
adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.
Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai
Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulud Nabi, Idul Fitri atau Tahun Baru Muharam (1
Sura).
Namun,
seiring perkembangan zaman, akhirnya Festival Pacu Jalur ini menjadi acara adat
turun temurun di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Pacu Jalur diadakan untuk
memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan
sekitar bulan Agustus dan biasanya
festival ini dilaksanakan pada tanggal 23-26 Agustus setiap tahunnya. Bisa
Anda bayangkan bagaimana situasi saat hari berlangsungnya Pacu Jalur ini, kota
Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas dimana-mana karena
semua warga akan datang menyaksikan, bahkan masyarakat yang ada diperantauan
akan terlihat lagi. Masyarakat perantauan ini datang hanya untuk menyaksikan
acara ini.
Festival
ini merupakan festival tahunan terbesar bagi masyarakat di daerah Kabupaten
Kuansing, khususnya Taluk Kuantan. Karena di Kota Taluk Kuantan ini melintang
Sungai Kuantan yang merupakan arena perlombaan Pacu Jalur ini. Biasanya jalur
yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100, sehingga akan sangat
meriah dan membuat penonton terkesan.
Aturan
main Pacu Jalur Taluk
Kuantan adalah sebuah tim yang bermain hanya dilakukan oleh kaum laki-laki yang
berusia antara 15 sampai 40 Tahun. Sebuah tim akan berlomba dengan tim lainnya
dalam mendayung perahu masing-masing. Jumlah pendayung perahu/Jalur
berkisar antara 50 sampai 60 orang (tergantung dari panjang perahu). Anggota
sebuah Jalur (anak pacu) yang terdiri atas Tukang Kayu, Tukang Concang
(komandan atau pemberi aba-aba), Tukang Pinggang (juru mudi), Tukang Onjai (pemberi
irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan Tukang Tari
(yang membantu tukang Onjai dalam memberi tekanan yang seimbang, agar jalur
dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama). Selain pemain, dalam
lomba Pacu Jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya
perlombaan dan menetapkan pemenang.
Untuk ukuran dan kapasitas Jalur serta
jumlah Anak Pacunya dalam lomba ini tidak dipersoalkan. Karena sebuah mitos,
bahwa kemenangan ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu (yang
dijadikan Jalur) serta kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” Jalur.
Perlombaan Pacu Jalur
Taluk Kuantan memakai penilaian “sistem gugur”. Sehingga peserta yang kalah
tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu
kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan “sistem
setengah kompetisi”. Dimana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu
yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
Suara meriam yang bergemuruh menandakan
bahwa perlombaan dimulai, nah untuk Anda yang belum terbiasa mendengar suara
meriam ini jangan kaget ya. Masyarakat menggunakan meriam sebagai tanda dimulainya
perlombaan agar dapat didengar oleh seluruh peserta lomba. Karena arena pacu begitu
luasnya dan ditambah dengan hiruk pikuk penonton yang menyaksikan perlombaan menambah
kebisingan jadi tidak akan terdengar bila menggunakan peluit saja.
Pada dentuman pertama Jalur-Jalur
(perahu-perahu) yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start.
Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap untuk mengayuh
dayung. Dan setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, maka
dimulailah perlombaan Pacu Jalur tersebut. Setiap regu akan berlomba memacu
(mengayuh) Jalurnya dan mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk mencapai
garis finish.
Sebelum perlombaan
dimulai biasanya penonton akan disuguhkan dengan beragam tari-tarian. Nah,
sungguh menarik bukan budaya Pacu Jalur yang dimiliki oleh masyarakat
Kuantan Singingi ini. Menonton kemeriahan dan semangat lomba Pacu Jalur bersama
keluarga tentunya akan lebih menyenangkan lagi. Semoga Anda bisa menyaksikan
perlombaan ini secara langsung. Selamat berlibur.